Mesir Kuno/Sejarah
Mesir pada puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru (1450 SM)
Mesir merupakan salah satu daerah tersubur di Afrika, dan salah satu
negara tersubur di Mediterania. Karena kesuburannya, Mesir menjadi salah
satu tempat terawal yang dihuni oleh manusia, sekitar 40.000 tahun
lalu. Pada awalnya tidak ada begitu banyak orang di Mesir, namun seiring
waktu Mesir menjadi semakin padat, sehingga diperlukan suatu
pemerintahan bersatu. Untuk sementara waktu tampaknya ada dua kerajaan,
yang disebut Mesir Hulu (di selatan) dan Mesir Hilir (di utara). Sekitar
3000 SM, pada awal Zaman Perunggu, raja Mesir Hulu menaklukan raja
Mesir Hilir dan membuat Mesir menjadi satu kerajaan, yang disebut Mesir.
Pemimpin kerajaan ini kemudian disebut Firaun.
Sejak masa tersebut hingga sekita 525 SM, ketika Mesir ditaklukan
oleh Persia, sejarah Mesir dibagi menjadi enam periode. Pada Kerajaan
Lama (2686-2160 SM), bangsa Mesir mulai membangun piramida sebagai makam
bagi para firaun. Kemudian pada 2200 SM tampaknya ada perubahan iklim,
dan Mesir terpecah menjadi banyak kerajaan kecil. Ini disebut Periode
Pertengahan Pertama (2160-2040 SM). Pada 2040 SM, para firaun berhasil
menyatukan kembali Mesir untuk kemudian mendirikan Kerajaan Pertengahan
(2040-1633 SM), namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak sekuat para
firaun Kerajaan Lama, dan mereka tidak lagi membangun piramida. Sekitar
1800 SM, para firaun Kerajaan Pertengahan kembali kehilangan kekuasaan.
Ini disebut Periode Pertengahan Kedua (1786-1558 SM). Selama Periode
Pertengahan Kedua, bangsa Hyksos dari utara menginvasi Mesir dan
menguasai Mesir Hilir untuk sementara waktu. Bangsa Hyksos memiliki kuda
dan kereta perang, dan dengan cepat pasukan Mesir juga belajar cara
menggunakan kuda dan kereta perang. Sekitar 1500 SM, para firaun Mesir
dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali
Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru (1558-1085 SM). Masa
ini disebutkan dalam Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasan Bani
Israel (bangsa Yahudi) oleh bangsa Mesir. Pada akhir Zaman Perunggu,
terjadi krisis umum di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat. Bersama
dengan hancurnya peradaban Mykenai dan Het, pemerintahan Mesir juga
runtuh, berujung pada Periode Pertengahan Ketiga (1085-525 SM). Selama
periode ini, para raja Afrika timur dari sebelah selatan Mesir, tepatnya
dari Nubia, menguasai sebagian besar wilayah Mesir.
Setelah itu pada 525 SM, Kambyses, raja Persia, memimpin pasukan
menuju Mesir dan menaklukannya. Ia menjadikan Mesir bagian dari
Kekaisaran Persia. Bangsa Mesir tidak suka diperintah oleh Persia, namun
mereka tak cukup kuat untuk melawan. Ketika Aleksander Agung menaklukan
Kekaisaran Persia pada 332 SM, ia juga merebut Mesir pada tahun yang
sama, dan para penerus Aleksander yang beretnis Yunani berkuasa di Mesir
setelah kematiannya pada 323 SM. Masa ini disebut pula periode
Hellenistik. Pada masa ini, ratu Kelopatra, yang merupakan perempuan
Yunani dan Firaun Mesir, berkuasa. Setelah Kelopatra meninggal, Romawi
menaklukan Mesir dan menjadikannya bagian dari Kekaisaran Romawi selama
ratusan tahun (30 SM-700 SM). Akhirnya sekitar 660 SM, pasukan Umayyah
yang menyerbu Mesir berhasil menaklukan wilayah ini dan menjadikan Mesir
bagian dari Kekhalifahan Islam, menggantikan kekuasaan Romawi di Mesir.
Pembagian periode dalam sejarah Mesir:
1. Zaman batu
kegiatan agrikultur orang Mesir kuno
Sekitar 10000 SM, penduduk Mesir sudah amat banyak sehingga orang-orang
terpaksa menghasilkan makanan mereka sendiri alih-alih berburu dan
mengumpulkan makanan. Pada masa yang sama, orang-orang di Asia Barat
juga mulai bercocok tanam. Kemungkinan orang sudah lama mengetahui cara
bercocok tanam namun lebih suka pergi ke luar dan mencari makanan liar,
karena lebih mudah. Akan tetapi ketika jumlah penduduk sudah terlalu
banyak, makanan liar mulai tidak mencukupi kebutuhan bagi semua orang,
dan dengan demikian orang-orang harus mulai bercocok tanam. Proses ini
disebut Revolusi Agrikultur.
2. Kerajaan lama (2686-2160 SM)
patung pualam Ankhesenpepi II dan putrana Pepi II
Setelah Mesir pertama kali disatukan sekitar tahun 3000 SM di bawah
Firaun dari Mesir Hulu, para Firaun dengan cepat memperoleh kekuasaan
yang besar atas rakyatnya. Ibukota Firaun adalah di Memphis.
Prasasti yang disebut Palet Narmer menunjukkan ukiran yang
kemungkinan menggambarkan Firaun Mesir Hulu yang sedang berdiri dan
mengalahkan Firaun Mesir Hilir.
Karena Kerajaan Lama berlangsung pada masa yang amat lampau, tidak
banyak yang diketahi mengenai periode ini. Tampaknya para Firaun
Kerajaan Lama menjalankan irigasi sisteamtis pertama dari sungai Nil,
yang memungkinkan lebih banyak orang untuk tinggal di Mesir tanpa
mengalami kelaparan. Piramida dibangun pada periode ini sebagai makam
besar bagi para Firaun. Kemungkinan piramida dibangun oleh orang-orang
yang biasanya menjadi petani, seperti kebanyakan orang pada masa itu.
Mereka mungkin membangun sedikit bagian piramida setiap tahun, selama
sungai Nil meluap sehingga kegiatan bercocok tanam tidak dapat
dijalankan. Temuan arkeologis terkini menunjukkan bahwa para Firaun awal
juga terlibat dalam kurban manusia. Pada masa yang sama, peradaban
besar lainnya juga sedang muncul di Sumeria.
Firaun terakhir di Kerajaan Lama adalah Pepi II, yang baru berusia
enam tahun ketika dinobatkan sebagai Firaun. Ibunya, Ankhesenpepi II,
barangkali adalah yang sebenarnya memegang kekuasaan atas nama putranya.
Ia kemungkinan telah terbiasa pada gagasan mengenai perempuan yang
berkuasa. Ibu Ankhesenpepi II, Nebet, menjadi wazir bagi kakek Pepy II,
Pepi I. Ankhesenpepi II mungkin berkuasa hingga Pepi II tumbuh dewasa,
atau setelah ia meninggal. Setelah kematiannya, Pepi II secara
berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, dan orang-irabf kaya lainnya
di Mesir mulai mengendalikan wilayah mereka sendiri layaknya raja. Ini
disebut Periode Pertengahan Pertama.
3. Periode Pertengahan Pertama (2160-2040 SM)
Intef II, salah satu penguasa di Mesir pada periode pertengahan pertama
Berakhirnya Kerajaan Lama, sekitar 2100 SM, tampaknya disebabkan oleh
pemberontakan orang-orang dari kalangan yang kaya. Mereka merasa bahwa
Firaun memiliki kekuasaan yang terlalu besar. Secara berangsur-angsur
Firaun menjadi semakin bergantung pada para pejabat pemerintahan, dan
orang-orang ini pun merebut kekuasaan. Beberapa pengelolaan negara mulai
terhenti. Piramida tak lagi dibangun. Sumber-sumber tertulis
menggambarkan masa-masa anarki, para bangsawan bekerja di ladang, anak
membunuh orang tua, sesama saudara saling bertikai, dan makam-makam
dihancurkan. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa kekacauan ini mungkin
disebabkan oleh perubahan iklim besar yang memicu kondisi kekeringan di
Mesir.
4. Kerajaan Pertengahan (2040-1633 SM)
Patung Mentuhotep II, Firaun pertama di Kerajaan Pertengahan
Kerajaan Pertengahan berdiri setelah serangkaian peperangan antara
penguasa Mesir Hulu (Selatan) melawan Mesir Hilir (Utara). Penguasa
Mesir Hulu menang, dan mereka menyatukan kembali negara ini sekitar 2000
SM, dengan ibukota pertamanya di Thebes di selatan, dan ibukota lainnya
adalah sebuah kota baru di sebelah selatan memphis.
Para Firaun pada periode ini tidak memiliki kekuasaan sebesar
sebelumnya. Mereka lebih menampilkan diri sebagai penguasa yang
memeprhatikan rakyatnya, alih-alih sebagai raja-dewa di Kerajaan Lama.
Adalah para Nomark (pejabat lokal) yang memiliki kekuasaan cukup besar
pada masa ini.
Pada periode ini, para Firaun pertama kali mulai menguasai wilayah di
luar Mesir, seperti Yerusalem, Yerikho dan Suriah. Selain itu banyak
terjadi perdagangan antara Mesir dengan Byblos, dekat beirut modern.
5. Periode Pertengahan Kedua (1786-1558 SM)
Patung Ahmose I, salah satu tokoh yang berperan dalam mengakhiri kekuasaan bangsa Hyksos atas Mesir
Sekitar 176 SM suatu bangsa yang disebut Hyksos menginvasi Mesir, mengakhiri Kerajaan Pertengahan dan memulai Periode Pertengahan Kedua. Bangsa Hyksos,
yang datang dari Asia Barat, merebut bagian timur dari Delta Nil (Mesir
timur laut, bagian yang terdekat dengan Asia), dan menetapkan ibukota di
Memphis.
Tidak diketahui siapa sebenarnya bangsa Hyksos, namun mereka
kemungkinan merupakan etnis Amori, yang menuturkan bahasa Semit (terkait
dengan bahasa Ibrani dan Arab) dan datang dari daerah di sekitar Suriah
dan Israel, suatu daerah yang banyak melakukan perdagangan dengan
bangsa Mesir selama Kerajaan Pertengahan.
Bangsa Hyksos berkuasa selama sekitar seratus tahun, namun kemudian
para penguasa selatan dari Thebes lagi-lagi mulai menaklukan kembali
daerah Mesir utara. Dalam perang pembebasan ini, kedua bersaudara
Kahmose dan Ahmose memerangi bansga Hyksos dan bangsa Nubia, yaitu etnis
Afrika yang tinggal di sebelah selatan Mesir. Pada akhirnya mereka
berhasil dan menyatukan kembali seluruh Mesir di bawah Kerajaan Baru.
5. Kerajaan Baru (1558-1085 SM)
Dengan reunifikasi Mesir oleh Ahmose (Kamose meninggal sebelum Mesir
benar-benar bersatu) dan diusirnya bangsa Hyksos, Mesir memulai periode
baru yang makmur di bawah dinasti ke-18. Pada masa ini banyak terjadi
perdagangan dengan Asia Barat, dan pasukan Mesir bahkan menaklukan
sebagian besar Israel dan Suriah, meskipun mereka terus-menerus
berperang dengan Het dan Asyyria demi kendali atas daerah tersebut.
Kuil-kuil besar dibangun di seluruh Mesir. Para ratu Mesir memiliki
kekuasaan yang besar pada masa ini, dan pada 1490 SM salah satu ratu
yang bernama Hatshepsut menjadi Firaun. Pemerintahan Hatshepsut
berlangsung lama dan damai. Ia membuat banyak kesepakatan perdagangan
dengan kerajaan-kerajaan Afrika, yang membuat Mesir semakin kaya.
Patung Hatshepsut
Pada tahun 1363 SM ada seorang Firaun terkenal bernama Akhenaten,
yang mendirikan ibukota baru di Amarna da tampaknya menyembah satu dewa
matahari baru, serta mengembangkan gaya seni baru. Istrinya bernama
Nefertiti. Akhenaten tak memiliki putra, dan penerusnya adalah
menantunya Tutankhamon. Akan tetapi pada 1333 SM para Firaun kembali ke
agama lama.
Patung Akhenaten
Patung Nefertiti
Topeng mumi Tutankhamon
Pada 1303 SM sebuah dinasti baru dari utara merebut kekuasaan, yaitu
dinasti Mesir ke-19. Raja pertamanya, Firaun Ramesses, memindahkan
ibukota kembali ke Memphis di utara. Pada masa pemerintahan dinasti ini,
pendeta menjadi amat berkuasa. Peperangan dengan bangsa Het di Asia
Barat terus berlanjut, namun perdagangan juga banyak terjadi. Ini adalah
masa yang dalam Kitab Injil dan Al Qur'an disebutkan bahwa bangsa
Yahudi (Bani Israil) diperbudak di Mesir.
Patung Ramesses I, pendiri dinasti ke-19
Dinasti Firaun ke-20, sekitar 1200 SM, meneruskan kebijakan yang
sama, dan semua Firaunnya disebut Ramesses. Banyak terjadi serangan
terhadap Mesir, yang pertama dari Libya di arah barat dan kemudian dari
Asia Barat, oleh suatu kelompok yang oleh bangsa Mesir disebut Bangsa
Laut. Kekaisaran Het dimusnahkan, meskipun sekitar 1100 SM bangsa Mesir
memerangi Bangsa Laut dalam suatu pertempuran laut yang besar. Akan
tetapi permasalahan di Asia Baat tampaknya menyebabkan keruntuhan
ekonomi besar-besaran di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat dan
tidak lama setelahnya Kerajaan Baru runtuh.
Pertempuran antara Mesir melawan Bangsa Laut
6. Periode Peertengahan Ketiga (1085-525 SM)
Perpecahan politik di Mesir pada Periode Pertengahan Ketiga
Setelah meninggalnya Ramesses terakhir pada 1085 SM, Mesir terpecah.
Tidak diketahui apa yang sebenarnya terjadi tapi kemungkinan terjadi
wabah kekeringan yang parah.
Peradaban Het dan Mykenai runtuh pada masa yang sama, dan banyak
orang dari kedua daerah tersebut menginvasi Mesir, dimana mereka
kemudian disebut Bangsa Laut, yang kemungkinan terdiri atas bangsa
Filistin, Lykia, Akhaia, Troya, dll. Mesir berhasil menghalau serbuan
Bangsa Laut, namun tidak lama setelahnya Mesir juga ikut runtuh.
Mesir kehilangan kendali atas Israel, Lebanon, Suriah, dan lagi-lagi
dikuasai oleh berbagai raja dari utara dan selatan. Selain itu Nubia
berhasl merdeka kembali dari kekuasaan Mesir.
Wilayah Mesir utara menjadi lebih kaya daripada selatan, dan
kota-kotanya berkembang pesat. Namun Mesir tetap menjadi lebih lemah
daripada sebelumnya, sehingga Lybia mampu beberapa kali melakukan invasi
dan menguasai Mesir utara untuk sementara waktu. Di selatan, di Thebes,
para pendeta Amon terus memperoleh kekuasaan yang besar
Sekitar 715 SM, seorang raja Sudan (atau Kush) hitam dari sebelah
selatan Mesir, yang bernama Piye atau Piankhi, menginvasi dan menaklukan
sebagian besar wilayah Mesir. Ia mendirikan Dinasti Firaun ke-25.
Shabaka, penerus Piye
Dinasti tersebut tidak berlangsung lama, karena suatu bangsa baru
dari Asia Barat, yaitu bangsa Assyria, menaklukan Mesir dalam
serangkaian perang yang berakhir pada 664 SM. Mereka mengusir bangsa
Sudan dari Mesir. Meskipun demikian, Assyria tidak benar-benar mampu
memerintah wilayah yang begitu jauh dari ibukota mereka di Nineveh,
sehingga tidak lama kemudian para raja Lybia menguasa Mesir dan
mendirikan Dinasti ke-26, dengan bantuan para tentara bayaran dari
Yunani dan Lykia. Para raja ini disebut orang Sais, karena menetapkan
ibukota di Sais, di utara Mesir.
Pada 609 SM Kekaisaran Assyria runtuh, dan para raja Sais berhasil
menaklukan sejumlah wilayah di Israel dan Suriah. Akan tetapi pada 605
SM, Kekaisaran Babilonia di bawah seorang raja bernama Nebukhadnezzar
mengalahkan Mesir dan merebut kembali Israel dan Suriah. Pada 525 SM,
sebuah kekaisaran baru di Asia Barat, yaitu Kekaisaran Persia, menyerang
dan menaklukan Mesir. Kali ini mereka sukses dalam memerintah Mesir.
Kambyses II, raja Persia, menangkap Psamtik III, Firaun terakhir dari Dinasti ke-26
7. Kekuasaan Persia (525-332 SM)
Nektabeno II atau Nakhthorheb, Firaun Mesir terakhir sebelum Mesir ditaklukan oleh Persia
Patung Aleksander Agung, raja Makedonia yang merebut Mesir dari
kekuasaan Persia dan memasukan Mesir ke dalam kekuasaan Makedonia
Persia menguasai Mesir sejak 525 SM, setelah berhasil mengalahkan
bangsa Libya. Akan tetapi, setelah Persia mengalami kekalahan atas
pasukan Yunani di Marathon pada 490 SM, bangsa Mesir memebrontak (pada
484 serta pada 460 SM) dengan bantuan Athena, namun gagal.
Pada 404 SM Mesir berhasil merdeka, berkat melemahnya Persia. Mesir
mendirikan Dinasti ke-28, yang dilanjutkan oleh Dinasti ke-29 dan 30.
Dinasti ke-28 berlangsung pendek dan hanya terdiri atas satu Firaun.
Pada Dinasti ke-29, Mesir menjalin persekutuan dengan Sparta dan
berhenti bekerjasama dengan Athena, karena Athena amat melemah seusai
Perang Peloponnesos melawan Sparta. Dalam kesepakatan ini, Sparta
membantu Mesir melawan Persia, dan Mesir mengirim banyak gandum sebagai
balasannya. Sayangnya, Persia menangkap kapal-kapal gandum Mesir dalam
perjalanan menuju Sparta sehingga hal ini tak berjalan baik.
Para Firaun pada Dinasti ke-30 berupaya mempertahankan Mesir sebagai
neagra merdeka. Mereka memerangi invasi-invasi Persia. Suatu ketika,
Persia menyerang Mesir namun harus mundur kembali karena Sungai Nil
sedang meluap. Seperti para Firaun lainnya, mereka menjalin persekutuan
dengan Sparta dan Athena serta kota-kota Yunani lainnya untuk dapat
menghalau Persia. Beberapa dari mereka bahkan berusaha mengembalikan
Mesir ke masa kejayaannya seperti pada Kerajaan Baru dengan cara
menyerbu Suriah.
Akan tetapi pada akhirnya Mesir tidak sanggup terus-menerus bertahan
menghadapi serbuan Persia, dan Persia berhasil menaklukan Mesir kembali
pada 341 SM, setelah Mesir mengalami kermedekaan selama enam puluh tiga
tahun. Pada 332 SM, Aleksander Agung menaklukan Mesir sebagai bagian
dari usahanya menaklukan seluruh Kekaisaran Persia.
8. Kekuasaan Yunani (Hellenistik) (332-30 SM)
Pada 332 SM Aleksander Agung dari Makedonia menaklukan Mesir dengan
pasukan Yunani. Pada awalnya, bangsa Mesir mengira bahwa Aleksander akan
membiarkan Mesir merdeka. Akan tetapi, Aleksander justru menjadikan
Mesir sebagian bagian dari kekaisarannya sendiri.
Setelah Aleksander meninggal pada 323 SM, kekaisarannya dibagi-bagi
di antara para jenderalnya, dan salah satu jenderalnya yang bernama
Ptolemaios memperoleh Mesir. Ptolemaios berkuasa di Mesir dan mendirikan
Dinasti Ptolemaios atau Ptolemaik. Para Firaun Ptolemaios berhasil
menaklukan kembali banyak wilayah di Israel dan Suriah. Mereka membawa
serta bahasa dan kebudayaan Yunani ke Mesir, meskipun rakyat jelata di
Mesir tetap menuturkan bahasa Mesir dan menyembah dewa-dewi Mesir.
Ptolemaios dan para keturuannya memerintah Mesir hingga Octavianus
Augustus dari Romawi mengalahkan Firaun Mesir terakhir, yaitu Ratu
Kleopatra, pada 30 SM. Sejak itu Mesir menjadi bagian dari Romawi.
Patung Ptolemaios I Soter, pendiri Dinasti Ptolemaik di Mesir
9.
Kekuasaan Romawi (30 SM-700 M)
Kleopatra dan Julius Caesar
Ketika Julius Caesar memperoleh kekuasaan di Romawi, sekitar 50 SM,
para Firaun Ptolemaik, yaitu para raja Mesir dari etnis Yunani, amat
sangat lemah dibanding Romawi.
Ketika Julius Caesar mengunjungi Mesir, ratu Mesir Ptolemaik,
Kleopatra VII, meminta Caesar membantunya dalam perang saudara melawan
saudara sekaligus suaminya yang masih remaja, Ptolemaios XIII.
Julius Caesar setuju dan membantu Kleopatra berkuasa, tapi kemudian
menempatkan pasukan Romawi di Mesir, serta membawa Kleopatra ke Roma
sebagai kekasih. Ketika Julius Caesar dibunuh di Roma pada 44 SM,
Kleopatra pulang ke Mesir bersama pemimpin Romawi lainnya, Marcus
Antonius, yang kemudian menjadi kekasihnya juga. Kleopatra memerintah
Mesir selama empat belas tahun, memperoleh empat anak dan memimpin
negaranya dengan sukses sambil melakukan manuver-manuver politik
terhadap Romawi supaya Mesir bisa tetap merdeka.
Akan tetapi, dalam perang saudara antara keponakan Julius Caesar,
Augustus, melawan Marcus Antonius, pihak Mesir yang dipimpin Antonius
dan Kleopatra mengalami kekalahan. Mereka bunuh diri (atau dibunuh) pada
30 SM, dan setelah itu Mesir dikuasai penuh oleh Romawi.
Romawi menganggap Mesir amat berharga karena daerah tersebut amat
subur dan menghasilkan begitu banyak bahan pangan. Sejumlah banyak
makanan, terutama gandum (untuk dibuat menjadi roti), dikirim dari Mesir
ke Roma sebagai pajak dalam kapal-kapal besar. Untuk memudahkan
pengumpulan dan pengiriman pajak ini, Romawi mendirikan pemerintahan
bergaya Romawi di Mesir, meskipun bahasa utama pemerintahan di Mesir
tetap bahasa Yunni ali-alih bahasa Latin. Pada masa ini, rakyat jelata
di Mesir juga memahami sejumlah perkataan Yunani.
Sekitar 300-400 M, sebagian besar orang Mesir menerima agama Kristen.
Ada petikaian mengenai jenis Kristen apa, entah Arian atau Katolik,
yang dianggap benar di Mesir.
Setelah Roma ditaklukan oleh Ostrogoth pada 476 M, pengiriman gandum
dari Mesir dialihkan ke ibukota baru Romawi di Konstantinopel, dekat
Laut Hitam, di tempat yang kini menjadi Turki.
Romawi menguasai Mesir hingga sekitar 700 M, selama kira-kira 700 tahun, hingga bangsa Arab menyerbu dan menaklukan Mesir.
10. Kekuasaan Islam (700 M-sekarang)
Seiring bangkitnya agama baru, Islam, di Asia Barat, bangsa Arab
mendirikan suatu negara bernama Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di
Suriah. Mereka dengan cepat menaklukan Mesir juga, sehingga, seperti
halnya dulu Mesir dukuasai oleh Assyria, Persia, Yunani, dan Romawi,
kini Mesir dikuasai oleh bangsa Arab Islam. Akibat penaklukan ini,
secara berangsur-angsur, sebagian besar bangsa Mesir berpindah agama dari
Kristen menjadi Islam, dan mereka juga mulai menuturkan bahasa Arab.
Sementara orang Mesir Kristen disebut Koptik. Ibukota baru juga
didirikan di Mesir utara, tepatnya di Kairo.
Peta penaklukan Muslim di Mesir
Untuk sementara waktu pada tahun 1000-1300, Mesir merdeka dari
Kekhalifahan Islam yang berpusat di Asia Barat dan mendirikan dinasti
tersendiri yang beraliran Syi'ah dan disebut Fatimiyah. Pada masa ini
banyak terjadi kemajuan di Mesir.
Akan tetapi Mesir kemudian ditaklukan oleh dinasti Ayyubiyah yang
Sunni, dan kemudian oleh Mamluk. Sekitar tahun 1500, Mesir dikuasai oleh
Kesultanan Utsmaniyah, hingga akhirnya Mesir merdeka pada masa modern.
Salahudin Al Ayyubi, pendiri dinasti Ayyubiyah
*penjelasan lebih lengkap tentang perkembangan dinasti umayyah, abbasiyah, al-ayyubiyah, dan utsmaniah. Coba baca buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) kelas 7,8,9